Kala Hampir Satu Purnama
Kala itu hampir satu purnama menyentuh pertemuan kita. Diantara tanah dan air yang bersua menyatu, tak jauh dari tanah kelahiranku. Aku tak pernah menduga, dalam satu tujuanku akan kutemukan sesuatu yang lebih dari satu. Saat pertama kali aku melihat keindahan dunia yang belum pernah aku sentuh sebelumnya. dan kamu sebagai sosok biasa yang berucap memanduku. Kamu hanya apa yang kulihat sekejap, tak lebih dari itu. Adakah butiran pasir mengingat kita?, saat bunga seroja berjatuhan dari letaknya di tangkai. Ah mungkin tidak, dan kita juga tak pernah berniat mengingatnya. Putaran matahari tak pernah lelah dan berhenti, dan bintang-bintang tak pernah usai menampakkan dirinya di malam-malam kita berdiri. Kita sosok biasa, yang saat itu berdiri meresapi belaian bayu di kala gelap, menghitung seberapa banyak bintang beralih, mendengar senandung air beriak yang menerpa, dan kadang terdiam menikmati renungan kesendirian. Kita sosok biasa yang sudah saling mengikat pada apa yang benar kita cintai.
Lalu senja pertama yang kita lihat, nampaknya merubah apa yang kita sebut sebagai sosok biasa. Saat siluet sedikit demi sedikit memancarkan sisi keindahan. Ya, keindahan sementara yang akan menghilang saat mentari kembali bersinar, saat kita sadari pada apa yang telah mengikat kita. Aku kembali pada tujuanku, dan kamu tetap berdiri disana, dibawah terik cahaya yang mengikutiku. Aku mendorongmu menjauh, mencoba kembali pada apa yang kusebut sosok biasa, dan kamu selalu mencoba untuk berdiri kembali dibawah terik cahaya itu. Sesaat aku membiarkanmu disana, mencoba memayungiku diantara letih dan panas terik.
Setiap senja berakhir, selalu ada butiran pasir yang kau endapkan di dalam waktuku. Kamu mencoba menghitung, dan selalu berkata "mungkinkah ini pasir yang terakhir?". Aku rasa mungkin masih banyak butiran pasir yang terhampar disemua pertemuan air dan daratan, tapi tak semuanya dapat kau endapkan dalam waktuku. Sedikit rasanya aku ingin membuang endapan itu, tapi sedikit pula ingin kusimpan dalam waktuku. Adakah lembayung mengingat kita? ketika kau tak henti merasa cemas melihat butiran pasir yang semakin menghilang dalam genggamanmu. Setiap bertemu senja wajahmu semakin gusar, maka kau coba mengukir apapun yang kita temui dengan namamu. Kamu bilang "mungkin aku memang sosok biasa untukmu, tapi biarkan aku hadir sesaat saja, mencoba mengendap dalam ingatanmu meski.. untuk sesaat".
Kala hampir satu purnama, kita beralih dari tanah dan air yang beriring. Suatu keharusan berjejak pada tujuan kita masing-masing. Mungkin kita bisa katakan ini perpisahan yang sesungguhnya, saat kita kembali pada hidup yang sepenuhnya dan meninggalkan siluet senja. Kembali pada apa yang benar kita cintai. Kita hanya sosok biasa, yang meninggalkan kebersamaan dan beberapa kesedihan pada purnama yang menggenapi butiran pasir waktu. Mendatangi kebahagiaan yang lebih tulus dari sesaat kehadiran kita. Maka mari kita ucapkan "selamat tinggal" pada jejak-jejak yang mengingat kita.