Catatan Seorang Sahabat
Ini adalah catatan dua orang sahabat antara "saya" dan "dia" pada tanggal 20 November 2009 pukul 23.43
Malam ini begitu senyap, hanya sayup-sayup terdengar suara orang yang bercakap-cakap di warung kopi yang letaknya tepat di depan kosan’ku. Entah apa yang kurasakan saat ini. Sedikit rasa kekecewaan dan sepi, hingga akhirnya kuputuskan untuk beranjak dari tempat tidurku dan menghidupkan komputer. Aku benar-benar kembali merasakan sunyinya kehidupan ini, disaat semua orang sibuk dengan kepentingan mereka masing-masing dan sebagian lainnya yang tentunya telah terlelap tidur. Entahlah aku merasa tak kunjung mengantuk dan suasana sunyi ini begitu membosankan bagiku.
Kecewa..ya aku telah berusaha meluangkan waktu disisa malamku untuk seseorang yang ku anggap penting dalam hidupku. Sayangnya ia tidak menyadari pengorbanan ini dan tak ingin mengubah keadaan agar kemauan dia dan aku terwujud. Aku tak bermaksud menilai seberapa banyak dan seberapa besar pengorbanan yang aku ataupun dia berikan, karena bagiku perasaan ini adalah tulus. Hingga aku menyadari, aku tak bisa memaksakan keinginan dengan ego dominan’ku kepada dirinya. Kita makhluk bebas yang punya hak menentukan dan menghargai pilihan. Masing-masing dari kita memiliki kehidupan dan kesibukan yang berbeda yang perlu kita toleransi satu sama lain. Aku memahami bahwa suatu saat akan ada waktu yang tersedia untuk mempertemukan semua kemauan kita, dan bagiku kini, kecewa tersebut pun terhapuskan. Namun, malam ini tetap saja kurasa bosan. Akhirnya kucoba untuk membuka folder-folder yang ada dikomputerku. Hingga aku pun menemukan sebuah catatan seorang sahabat yang ditujukan pada diriku. Entah kapan ia mengetiknya dan rasa penasaranku pun melonjak. Aku pun membacanya….
“Mendung yang mengingatkanku….”
18 november 2009
pukul 15.45
Selalu sepi di keramaian , itulah aku! Pikiranku tak sama dengan mereka, senyumku tak sesempurna senyum mereka, hanya satu dua kata yang ku ucap selanjutnya aku diam. Diam dalam ketidakpahaman. Diam dalam ketidakmampuan. Aku berubah setidaknya sejak aku melepas putih Abu yang selalu menemaniku. Warna putih Abu yang mempertemukanku dengan cinta pertama yang tak kunjung kumiliki, warna putih Abu yang mengisyaratkan pengkhianatan sahabat. Warna putih Abu yang selalu membuatku bingung menghadapi kenyatan. Selepas itu, aku memang masih tetap berjalan pada satu masa yang berbeda, tapi…aku tak merasakan apapun. Berapa lama kupendam kesedihan yang aku rasakan, berapa lama lagi aku harus diam dalam keramaian, berapa lama lagi aku tetap bisu tanpa nada kata, berapa lama lagi aku melangkah sendiri setiap kali sahabatku tak disampingku, aku tak tahan Tuhan!!!!
Setidaknya sore ini, saat sahabatku terlelap tidur…,aku menangis dan bercerita pada komputer kesayangannya. Tanpa dia mungkin aku akan mati perlahan menghadapi kebisuan sendiri, tanpa dia mungkin aku sudah terpuruk dalam kesepian setiap malam, tanpa dia mungkin aku sudah rapuh dengan jejak langkahku sendiri. Tuhan, aku merasakan persahabatan kembali, setelah sekian lama aku tak percaya akan keajaiban dari kata persahabatan. Persahabatan yang menurutku adalah sebuah pengkhianatan, tapi kini yang kurasakan adalah persahabatan yang nyata.
Aku selalu bertanya kapan dia mulai jenuh didekatku? Jika suatu saat ia jenuh dan mulai bosan, aku siap Tuhan! Aku pun suatu saat akan mati dalam kesendirian, bahkan saat aku harus mempertanggung jawabkan semua dihadapanMU aku akan berjalan sendiri di hadapanMU.
Malam minggu saat semua bahagia melewati malam dengan kekasih hati, aku dan dia bertukar cerita di kamar segi empat yang selalu rapi ia tata. Tertawa bersama, bercanda bersama, bahkan aku ingat saat kekasih hatiku pergi meninggalkan hatiku sendiri, ia menjadi peri yang menenangkan batinku. Tuhan, ia mengembalikan pikiranku tentang arti persahabatan yang sebenarnya.
Sore ini di kelas ia bertanya padaku, apa aku sedang Bete..,aku jawab tidak! Bukan Bete yang kurasa teman, aku hanya merasa aku sepi berada di ruang kelas yang dipenuhi suara-suara, aku memang tak berarti di mata mereka, katanya aku diam seperti patung. Aku tak bisa bersuara di depan mereka, tapi di depanmu..aku pandai berkata-kata. Aku tidak tahu teman, kapan semua ini terjadi padaku… kapan aku mulai bisu? aku tak bisa merinci semua yang terjadi dalam kehidupanku.
Saat kamu tidur, ku menangis……aku malu untuk menangis di depanmu….
Aku lega sore ini dapat ku biarkan air mataku yang kutahan dari waktu itu mengalir tanpa henti……………………
Terimakasih Dian untuk persahabatan yang kamu berikan
Aku pun selesai membacanya, sebuah surat singkat yang pendek. Mungkin sebagian orang akan menganggap tak ada sesuatu yang istimewa dari catatan tersebut. Tapi bagiku, sebuah catatan ini begitu menggetarkan hatiku. Disaat aku merasakan kesepian dalam kesunyian ini, ternyata seseorang yang selalu kusebut sahabatku pun mengungkapkan kesepian yang ia alami. Aku menghargai kejujurannya meskipun tak ia ucapkan langsung kepadaku. Begitu banyak momen yang merekam cerita aku dan sahabatku, saat kita berbicara dari hati ke hati, saat kita memaafkan segala kekurangan dan mengagumi segala kelebihannya. Candaan, tangis, amarah, bahkan rahasia kehidupan. Ya aku selalu bertanya apakah waktu ku cukup denganmu? Apakah aku berubah? Apa yang terjadi padamu?. Aku menghargai saat mereka terbuka padaku, karena artinya mereka percaya padaku, namun adakalanya memang kita tak selamanya bersama. Kita tersekat-sekat terpisah jarak, bahkan sulit rasanya mencari waktu yang tepat untuk berkumpul bersama. Semua karena kesibukan yang kita alami. Sahabat, aku tak pernah memberikan ‘persahabatan’ bagimu, yang aku berikan hanyalah ‘diriku’ yang sesungguhnya. Aku pun ingin berkata “Terimakasih telah memahami diriku dan menjadikanku sahabat dalam cerita kehidupanmu”